Dunia Menyoroti Demokrasi Indonesia
arifuddinali.blogspot.com - Keputusan dewan perwakilan rakyat meloloskan undang-undang yang mengembalikan proses pemilihan kepala tempat kepada DPRD menerima sorotan besar media massa dan pengamat asing. Laman The New York Times menyebut ini sebagai kemunduran dalam transisi demokrasi dan kudeta secara telanjang oleh elite politik.
Media massa terkemuka lain, ibarat BBC dan The Guardian (Inggris), majalah Time (Amerika Serikat), serta The Sydney Morning Herald dan Brisbane Times (Australia), juga memperlihatkan porsi cukup besar pada isu tersebut, Jumat (26/9).
Laman majalah Time, harian The New York Times, dan The Sydney Morning Herald menyoroti reaksi keras dan kemarahan masyarakat Indonesia, yang menyebut akreditasi UU ini sebagai kemunduran besar demokrasi Indonesia. Mereka antara lain mengutip evaluasi Gubernur DKI Jakarta dan presiden terpilih Joko Widodo sebelum UU kontroversial tersebut disetujui dalam Sidang Paripurna dewan perwakilan rakyat pada Jumat dini hari.
#ShameOnYouSBY
Time memberitakan, kemarahan warga terutama diarahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat yang dipimpinnya. Hal itu alasannya Partai Demokrat melaksanakan walk out yang menimbulkan kemenangan kubu pendukung UU pilkada tak langsung, yang dimotori partai politik anggota Koalisi Merah Putih.
Kekecewaan warga ini umumnya disalurkan melalui sejumlah media sosial. BBC mengutip topik terpopuler di salah satu akun Twitter, yang menuliskan ”Rest in Peace Democracy”. Time mengutip komentar keras bertanda pagar #ShameOnYouSBY, yang menjadi topik terpopuler sepanjang Jumat.
Adapun The Guardian mengutip blog yang ditulis Andrew Thornley, pakar pemilu Indonesia dari Asia Foundation.
”Sangat sulit untuk tidak melihat UU ini sebagai sebuah manuver politik untuk mengembalikan otoritas elektoral dari rakyat ke partai politik, pada ketika kemenangan (rakyat) melalui pemilihan presiden pribadi kemarin,” tulis Thornley.
Dr Colin Brown, profesor kehormatan Universitas Griffith, Australia, dan pengajar politik Indonesia, kepada koresponden Kompas di Brisbane, Australia, Harry Bhaskara, mengatakan, UU yang gres disahkan itu sesuatu yang patut disayangkan.
Brown menilai UU itu sebagai langkah mundur bagi proses demokrasi Indonesia. Dia meyakini itu sebagai cara partai politik tertentu mencegah kemunculan orang-orang ibarat Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Brown meyakini UU tersebut akan menjadi bahaya besar terhadap pemerintahan gres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan dikembalikannya proses pilkada ke DPRD, parpol akan kembali mengambil kendali jalannya politik di Indonesia.
Adapun The Sydney Morning Herald mengutip menteri periode Orde Baru, Sarwono Kusumaatmadja, yang menyebut UU itu hanya akan mengalihkan fatwa politik uang kepada kelompok oligarki politik, sedangkan rakyat tetap menjadi korban.
Negatif
Pengesahan UU Pilkada juga menerima reaksi negatif pasar. Aksi jual melanda perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) semenjak awal perdagangan sebagai respons atas keputusan dewan perwakilan rakyat ini. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terempas sampai 1,85 persen sebelum ditutup turun 68 poin (1,32 persen) ke level 5.132,56.
Investor absurd melepas kepemilikan saham-saham unggulan, ibarat Bank Mandiri, Bank BRI, Astra International, Bank BNI, dan Semen Indonesia. Mereka mencatat penjualan higienis sampai Rp 1,4 triliun sehingga catatan pembelian higienis di BEI melorot menjadi Rp 49,9 triliun.
Di pasar spot, rupiah juga kembali turun dan menembus level psikologis di Rp 12.023 per dollar AS, melemah sekitar 0,3 persen. Jika dilihat semenjak awal bulan September, nilai rupiah turun sekitar 2,8 persen terhadap dollar AS dan sekitar 1,2 persen atas dollar AS bila dilihat semenjak awal tahun ini. (baranews.co 27092014)
Media massa terkemuka lain, ibarat BBC dan The Guardian (Inggris), majalah Time (Amerika Serikat), serta The Sydney Morning Herald dan Brisbane Times (Australia), juga memperlihatkan porsi cukup besar pada isu tersebut, Jumat (26/9).
Laman majalah Time, harian The New York Times, dan The Sydney Morning Herald menyoroti reaksi keras dan kemarahan masyarakat Indonesia, yang menyebut akreditasi UU ini sebagai kemunduran besar demokrasi Indonesia. Mereka antara lain mengutip evaluasi Gubernur DKI Jakarta dan presiden terpilih Joko Widodo sebelum UU kontroversial tersebut disetujui dalam Sidang Paripurna dewan perwakilan rakyat pada Jumat dini hari.
#ShameOnYouSBY
Time memberitakan, kemarahan warga terutama diarahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat yang dipimpinnya. Hal itu alasannya Partai Demokrat melaksanakan walk out yang menimbulkan kemenangan kubu pendukung UU pilkada tak langsung, yang dimotori partai politik anggota Koalisi Merah Putih.
Kekecewaan warga ini umumnya disalurkan melalui sejumlah media sosial. BBC mengutip topik terpopuler di salah satu akun Twitter, yang menuliskan ”Rest in Peace Democracy”. Time mengutip komentar keras bertanda pagar #ShameOnYouSBY, yang menjadi topik terpopuler sepanjang Jumat.
Adapun The Guardian mengutip blog yang ditulis Andrew Thornley, pakar pemilu Indonesia dari Asia Foundation.
”Sangat sulit untuk tidak melihat UU ini sebagai sebuah manuver politik untuk mengembalikan otoritas elektoral dari rakyat ke partai politik, pada ketika kemenangan (rakyat) melalui pemilihan presiden pribadi kemarin,” tulis Thornley.
Dr Colin Brown, profesor kehormatan Universitas Griffith, Australia, dan pengajar politik Indonesia, kepada koresponden Kompas di Brisbane, Australia, Harry Bhaskara, mengatakan, UU yang gres disahkan itu sesuatu yang patut disayangkan.
Brown menilai UU itu sebagai langkah mundur bagi proses demokrasi Indonesia. Dia meyakini itu sebagai cara partai politik tertentu mencegah kemunculan orang-orang ibarat Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Brown meyakini UU tersebut akan menjadi bahaya besar terhadap pemerintahan gres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan dikembalikannya proses pilkada ke DPRD, parpol akan kembali mengambil kendali jalannya politik di Indonesia.
Adapun The Sydney Morning Herald mengutip menteri periode Orde Baru, Sarwono Kusumaatmadja, yang menyebut UU itu hanya akan mengalihkan fatwa politik uang kepada kelompok oligarki politik, sedangkan rakyat tetap menjadi korban.
Negatif
Pengesahan UU Pilkada juga menerima reaksi negatif pasar. Aksi jual melanda perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) semenjak awal perdagangan sebagai respons atas keputusan dewan perwakilan rakyat ini. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terempas sampai 1,85 persen sebelum ditutup turun 68 poin (1,32 persen) ke level 5.132,56.
Investor absurd melepas kepemilikan saham-saham unggulan, ibarat Bank Mandiri, Bank BRI, Astra International, Bank BNI, dan Semen Indonesia. Mereka mencatat penjualan higienis sampai Rp 1,4 triliun sehingga catatan pembelian higienis di BEI melorot menjadi Rp 49,9 triliun.
Di pasar spot, rupiah juga kembali turun dan menembus level psikologis di Rp 12.023 per dollar AS, melemah sekitar 0,3 persen. Jika dilihat semenjak awal bulan September, nilai rupiah turun sekitar 2,8 persen terhadap dollar AS dan sekitar 1,2 persen atas dollar AS bila dilihat semenjak awal tahun ini. (baranews.co 27092014)
0 Comment
Posting Komentar