Kajao Lalliddong
Kajao Lalliddong : Pemikir dan Penasehat Kerajaan
arifuddinali.blogspot.com - Kajao Lalliddong atau Kajao Lalli’do, yang berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong, yaitu seorang cendekiawan dari Kerajaan Bone pada masa sebelum Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Kajao Laliddong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam membuat pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone pada masa ke-16 masa pemerintahan raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Pada masa pemerintahan La Tenri Rawe Bongkange, kerajaan Bone mengalami perkembangan sangat pesat berkat sumbangsih fikiran Kajao Lalliddong. Namun, tak banyak orang yang mengetahui kisah panjangnya lantaran hanya disampaikan oleh orang-orang terdahulu kepada anak cucu mereka sebagai pengantar tidur. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kisah Kajao Lalliddong hanyalah kisah fiktif belaka.
Kajao Lalliddong diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Akan tetapi, pemikiran Kajao Lalliddong menganjurkan biar penguasa lebih jujur dan bijaksana, sedangkan Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik. Menurut WS Rendra, pemikiran Kajao Lalliddong mengenai adat, peradilan, yurisprudensi, dan tata-pemerintahan sudah cukup lengkap. Bahkan, pemikiran Kajao Laliddong itu mendahului “kode Napoleon”.
Kajao Lalliddong lahir dengan nama La Mellong, diperkirakan pada tahun 1507, pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau (1496-1516) yang sama dengan masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre To Mapakrisi Kallongna. Kajao Lalliddong atau La Mellong diyakini lahir di sebuah desa berjulukan Kajao, kini berada dalam wilayah kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Desa itu berjulukan desa Kajao. Di desa itu ditemukan banyak bukti sejarah berkaitan dengan La Mellong menyerupai makam yang dipercaya sebagai makam La Mellong, bukit kecil yang dipercaya sebagai tempat La Mellong mencari siput serta sebuah pohon kayu yang dipercaya sebagai tongkat La Mellong yang ditancapkannya ke tanah. Desa ini dulunya berjulukan Wanua Cina, kemudian berubah jadi desa Kajao.
Dari dongeng rakyat, diketahui bahwa ayah La Mellong yaitu seorang Kepala Wanua (Matowa) yang dikenal sangat arif dan bijaksana. Kehidupan rakyat di Wanua Cina sangat makmur, flora tumbuh subur dan ternak berkembang biak dalam situasi keamanan yang terjamin. Saking dicintainya oleh rakyat, ayah La Mellong mendapat gelar Tau Tongeng ri Gau’na (orang yang benar dalam perbuatannya).
La Mellong sendiri semenjak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, jujur dan berani. Ia tidak pernah berbohong, tegas dalam bertindak dan berani mengeluarkan pendapat. Sifat ini sudah terlihat semenjak kecil dan membuatnya disegani oleh rekan-rekan sebaya. La Mellong juga dikenal sebagai anak yang rajin, setiap hari ia menghabiskan waktu dengan menggembala ternak milik keluarganya dengan sungguh-sungguh. Dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang pemikir yang cemerlang. Kajao, bahwasanya bukanlah sebuah nama, tapi sebuah gelar atau penghargaan bagi seseorang di kerajaan Bone lantaran kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Gelar ini merupakan posisi istimewa, lantaran tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah masa Kajao Lalliddong.
La mellong digambarkan sebagai seorang lelaki setengah baya yang ramah dengan badan yang tidak terlalu tinggi. Ia pun mempunyai pemikiran yang panjang serta cerdik. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berhasil melalui banyak sekali kendala dan tantangan yang dibebankan padanya. Banyak pula yang menganggapnya sebagai seorang tokoh kritikus di masanya. Oleh lantaran itu, beberapa pihak, utamanya dikalangan kerajaan, kerap berusaha untuk menangkapnya atau membuatnya menyerah. Digambarkan pula bahwa ia dikenal tidak hanya di tempat kerajaan Bone, namun juga di wilayah-wilayah sekitarnya. Ia juga digambarkan sebagai orang yang sering berkunjung ke banyak sekali tempat, dan kadang juga menghilang untuk merenung bila mempunyai problem yang harus ia selesaikan.
Kajao Lalliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir jago untuk pemerintahan Kerajaan Bone lantaran kecerdasan yang terpancar dari dalam dirinya. Sebelum pengangkatannya sebagai penasehat Raja, ketika itu Raja Bone mendengar kabar ihwal seorang cowok yang berani dan cerdas. Pemuda yang berjulukan La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone. Pada masa itu, ketika seorang Raja apabila mendengar ada orang pandai dinegerinya, dipanggil dan diuji dalam bentuk obrolan serta ujian ketangkasan, yang pribadi dilaksanakan sendiri oleh raja. Apabila dalam obrolan itu terungkap pernyataan, yang berdasarkan raja, ada sesuatu yang mengesankan, contohnya kecerdasannya dalam menterjemahkan tanda-tanda alam, kepiawaian menjawab pertanyaan, kepandaian merangkai kata-kata dan memakai symbol-simbol makna, maka yang bersangkutan akan terpilih.
Raja Bone pun memanggil cowok tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin menguji kecerdasan cowok tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun menyanggupi kedua usul sang raja.
La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Lalliddong. Ia mengambil tangga rangkiang bau tanah miliknya, kemudian menyeretnya menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?” Sepanjang jalan, setiap ada yang bertanya, maka La Mellong pun memintanya ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sebanyak 69 orang yang mengikuti La Mellong, dan ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana, tiba-tiba pengawal istana menegurnya,
“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?”. “Pammasena Dewatae (puji syukur pada Dewata), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja. “Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong. “Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan bunyi meninggi. “Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang tiba bersamaku ini yaitu orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku ihwal apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa yaitu tangga rangkiang, maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tak sanggup melihat.”
Seketika sang raja menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang bau tanah milik La Mellong. “Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”. La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang bau tanah miliknya itu yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.” “Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” cecar raja.
Kajao Lalliddong diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Akan tetapi, pemikiran Kajao Lalliddong menganjurkan biar penguasa lebih jujur dan bijaksana, sedangkan Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik. Menurut WS Rendra, pemikiran Kajao Lalliddong mengenai adat, peradilan, yurisprudensi, dan tata-pemerintahan sudah cukup lengkap. Bahkan, pemikiran Kajao Laliddong itu mendahului “kode Napoleon”.
Kajao Lalliddong lahir dengan nama La Mellong, diperkirakan pada tahun 1507, pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau (1496-1516) yang sama dengan masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre To Mapakrisi Kallongna. Kajao Lalliddong atau La Mellong diyakini lahir di sebuah desa berjulukan Kajao, kini berada dalam wilayah kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Desa itu berjulukan desa Kajao. Di desa itu ditemukan banyak bukti sejarah berkaitan dengan La Mellong menyerupai makam yang dipercaya sebagai makam La Mellong, bukit kecil yang dipercaya sebagai tempat La Mellong mencari siput serta sebuah pohon kayu yang dipercaya sebagai tongkat La Mellong yang ditancapkannya ke tanah. Desa ini dulunya berjulukan Wanua Cina, kemudian berubah jadi desa Kajao.
Dari dongeng rakyat, diketahui bahwa ayah La Mellong yaitu seorang Kepala Wanua (Matowa) yang dikenal sangat arif dan bijaksana. Kehidupan rakyat di Wanua Cina sangat makmur, flora tumbuh subur dan ternak berkembang biak dalam situasi keamanan yang terjamin. Saking dicintainya oleh rakyat, ayah La Mellong mendapat gelar Tau Tongeng ri Gau’na (orang yang benar dalam perbuatannya).
La Mellong sendiri semenjak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, jujur dan berani. Ia tidak pernah berbohong, tegas dalam bertindak dan berani mengeluarkan pendapat. Sifat ini sudah terlihat semenjak kecil dan membuatnya disegani oleh rekan-rekan sebaya. La Mellong juga dikenal sebagai anak yang rajin, setiap hari ia menghabiskan waktu dengan menggembala ternak milik keluarganya dengan sungguh-sungguh. Dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang pemikir yang cemerlang. Kajao, bahwasanya bukanlah sebuah nama, tapi sebuah gelar atau penghargaan bagi seseorang di kerajaan Bone lantaran kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Gelar ini merupakan posisi istimewa, lantaran tidak ada lagi sebutan Kajao sesudah masa Kajao Lalliddong.
La mellong digambarkan sebagai seorang lelaki setengah baya yang ramah dengan badan yang tidak terlalu tinggi. Ia pun mempunyai pemikiran yang panjang serta cerdik. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berhasil melalui banyak sekali kendala dan tantangan yang dibebankan padanya. Banyak pula yang menganggapnya sebagai seorang tokoh kritikus di masanya. Oleh lantaran itu, beberapa pihak, utamanya dikalangan kerajaan, kerap berusaha untuk menangkapnya atau membuatnya menyerah. Digambarkan pula bahwa ia dikenal tidak hanya di tempat kerajaan Bone, namun juga di wilayah-wilayah sekitarnya. Ia juga digambarkan sebagai orang yang sering berkunjung ke banyak sekali tempat, dan kadang juga menghilang untuk merenung bila mempunyai problem yang harus ia selesaikan.
Kajao Lalliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir jago untuk pemerintahan Kerajaan Bone lantaran kecerdasan yang terpancar dari dalam dirinya. Sebelum pengangkatannya sebagai penasehat Raja, ketika itu Raja Bone mendengar kabar ihwal seorang cowok yang berani dan cerdas. Pemuda yang berjulukan La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone. Pada masa itu, ketika seorang Raja apabila mendengar ada orang pandai dinegerinya, dipanggil dan diuji dalam bentuk obrolan serta ujian ketangkasan, yang pribadi dilaksanakan sendiri oleh raja. Apabila dalam obrolan itu terungkap pernyataan, yang berdasarkan raja, ada sesuatu yang mengesankan, contohnya kecerdasannya dalam menterjemahkan tanda-tanda alam, kepiawaian menjawab pertanyaan, kepandaian merangkai kata-kata dan memakai symbol-simbol makna, maka yang bersangkutan akan terpilih.
Raja Bone pun memanggil cowok tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin menguji kecerdasan cowok tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun menyanggupi kedua usul sang raja.
La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Lalliddong. Ia mengambil tangga rangkiang bau tanah miliknya, kemudian menyeretnya menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?” Sepanjang jalan, setiap ada yang bertanya, maka La Mellong pun memintanya ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sebanyak 69 orang yang mengikuti La Mellong, dan ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana, tiba-tiba pengawal istana menegurnya,
“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?”. “Pammasena Dewatae (puji syukur pada Dewata), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja. “Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong. “Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan bunyi meninggi. “Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang tiba bersamaku ini yaitu orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku ihwal apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa yaitu tangga rangkiang, maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tak sanggup melihat.”
Seketika sang raja menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang bau tanah milik La Mellong. “Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”. La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang bau tanah miliknya itu yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.” “Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” cecar raja.
“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih, maka saya akan menawarkan tangga ini kepada keduanya biar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, lantaran penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham lantaran mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya hanya akan memberi tangga ini biar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya menawarkan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah dukungan tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan menawarkan tangga ini, biar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, lantaran bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” terang La Mellong.
“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai kini engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.
La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia pun diberi gelar La Mellong Tosuwalle Tautongeng Maccae ri Lalliddong atau disingkat Kajao Lalliddong. Sejak ketika itu, sebagai seorang Kajao, tidak hanya bertugas sebagai penasehat kerajaan, melainkan juga sebagai “Juru Bicara” dan “Diplomat” negara sekaligus sebagai “Ahli Nujum Istana:”. Dalam melakukan kiprah diplomasi, kekuasaan dan kewibawaan kerajaan terletak diujung pengecap seorang Kajao. Banyak sekali legenda Kerajaan Bone, diukir dengan cantik oleh Kajao Lalliddong, atas keberhasilannya menjadi diplomat keberbagai negara kerajaan terdekat, menyerupai Wajo, Soppeng dan Sidenreng. Lahirnya konsep awal “Sempugi” melalui perjanjian antar kerajaan Bone, Soppeng, Wajo yang dikenal “Lamumpatue ri Timurung”, yaitu hasil kerja Kajao Lalliddong, yang berasal dari gagasan Raja Bone, untuk menghindari perang antar kerajaan tetangga, bahkan lebih baik bersatu menghadapi serangan musuh.
Salah satu anutan Kajao Lalliddong ihwal politik dan pemerintahan yaitu : “Luka taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya bahwa, keputusan raja sanggup dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan sopan santun sanggup dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.
Makna anutan ihwal demokrasi yang diamanahkan oleh Kajao Lalliddong dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, memperlihatkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Lalliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, anutan ini justru kini diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat.
Dalam menjalankan kiprah Kajao Lalliddong, ia terkadang sebagai penasehat Raja saja. Diminta atau tidak, Kajao Laliddong menawarkan nasihat. Jika tidak diminta dan apabila ada yang dianggap perlu disampaikan pada raja, maka ia memakai symbol-simbol atau gerak isyarat. Apabila ada yang ingin disampaikannya tetapi tidak sanggup disampaikan langsung, maka iapun mengurung diri dalam kamar beberapa hari tanpa makan dan minum. Pada ketika itulah biasanya raja bertanya. “ Apa yang merisaukan hati Kajao hingga mengurung diri di kamar.” Mengurung diri di sebuah kamar, sesungguhnya yaitu suatu upaya perenungan untuk menemukan pemikiran yang jernih.
Kajao Lalliddong dalam menawarkan jawaban tidak secara ferbal, melainkan dalam perandaian atau kata simbolik, “ Saya mencoba mencicipi bagaimana perasaan rakyat jikalau tidak pernah melihat pemimpinnya,” demikian jawabannya jikalau ditanya oleh raja akan sikapnya yang suka bersemedi. Melalui ungkapan itu raja mengerti bahwa koreksi atas dirinya yang tidak pernah keluar istana melihat keadaan masyarakat secara langsung. Ungkapan itu sekaligus menggambarkan bahwa, nasehat itu intinya bermuatan saran atau kritikan untuk memperbaiki sikap bertindak seorang raja pada rakyatnya. Artinya, sang penasehat menyerupai Kajao, tidak berucap atau bersikap asal menyenangkan rajanya.
Sang penasehat, tidak serta merta juga didengar pendapatnya, lantaran dalam banyak sekali obrolan dengan Raja Bone, maka Kajao Laliddong terkadang berbicara didepan dewan hadat – ADE PITU – terkadang memang hanya pada Arung Mangkau saja. Artinya, pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih harus dimintakan pertimbangan dewan hadat. Persetujuan itu diperlukan, lantaran yang akan memimpin dan mengarahkan pelaksanaannya nanti adalah, melalui anggota dewan adat. Sebagai seorang pemikir, Kajao Laliddong mengungkapkan dalam pertemuan dewan hadat, jikalau diminta beropini atas diskusi antar anggota dewan adat. Secara bijak, memang Kajao hanyalah membisu pada pertemuan dewan adat, lantaran ia bukan anggota, sehingga ia mengeluarkan pendapat jikalau diminta oleh raja. Namun jikalau sudah berpendapat, biasanya menjadi dasar kesepakatan yang disetujui dewan adat.
Kajao Laliddong juga mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat, yaitu : lempu’ (jujur), acca (pandai), asitinajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (usaha,kerja keras), siri’ (harga diri). Pada suatu hari, sebagaimana dikisahkan dalam Lontara, raja Bone pernah bertanya kepada Kajao Lalliddong: “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?” Kajao pun menjawab: dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya, pertama, raja yang memerintah mempunyai sifat jujur lagi pintar, dan kedua, tidak bercerai-berai).
Pernah suatu masa, Kajao Lalliddong berkata :
“Suatu waktu, akan ada dua macam zaman, yakni zaman ayam dan zaman penyu. Adapun tanda-tanda zaman ayam jago itu, sama menyerupai tingkah laris dari dua ayam jago yang berlaga, salah satu dari keduanya melompat keatas bubungan rumah dan terus berkokok, namun kokoknya itu tidak mendapat jawaban dari bawah. Karena merasa bosan berkokok tanpa jawaban, melompatlah ayam itu ketanah dan begitu tiba ditanah, pribadi dikejar oleh ayam lawannya tadi. Bahwa yang berkokok di bubungan rumah tadi bahwasanya ayam kalah, demikian pula keadaannya pemimpin-pemimpin pada zaman itu. Apabila zaman ayam ini datang, apapun yang dikerjakan tidak akan mendatangkan berkah.
Adapun pada zaman penyu, tongkatpun yang ditanam akan berdaun, artinya tidak ada pekerjaan yang tidak mendapat hasil. Pada ketika penyu bertelur, kepalanya bergerak keluar masuk dan dari mulutnya keluar telur yang jumlahnya banyak dan kemudian akan dimakan orang banyak. Begitulah yang disebut pemimpin pada waktu itu, kepalanya (otaknya bekerja) dan hasil karyanya dinikmati orang banyak. Oleh lantaran itu, bila waktu penyu tiba, bekerjalah sekuat tenaga lantaran tidak ada pekerjaan yang sia-sia tanpa memperoleh hasil.”
Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan oleh Kajao Lalliddong. Gagasan-gagasan Kajao Lalliddong sangat bersahabat dengan demokrasi. Dalam gagasan-gagasannya, Kajao terang sekali menentang kekuasaan raja yang tidak terkontrol dan tidak dibatasi. Seorang raja, di mata Kajao Laliddong, dihentikan terpejam matanya siang dan malam untuk memikirkan kebaikan negerinya. Jika biasanya raja digambarkan berkuasa mutlak, dan karenanya kata-kata atau perintahnya tidak bisa dibantah, maka Kajao Lalliddong menganjurkan kepada raja-raja Bugis untuk senatiasa mengkaji segala sesuatunya sebelum bertindak, pandai berbicara dan menjawab pertanyaan, dan menentukan utusan yang senantiasa sanggup dipercaya.
Pokok-pokok pikiran Kajao Lalliddong menjadi contoh bagi Raja dalam melakukan kegiatan pemerintahan. Buah pikirannya menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis disebut “Pangngadereng” yang menekankan bahwa raja dalam melakukan roda pemerintahannya harus berpedoman pada “Sistem Norma” sesuai konsep sebagai berikut :
Ade’, merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
Ade’ pura onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau yang sukar untuk diubah.
Ade’ a’biasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Ade’ maraja, yaitu sistem norma gres yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Bicara, yaitu aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menuntaskan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
Rapang yaitu hukum yang ditetapkan sesudah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan sopan santun yang berlaku di negeri tetangga.
Wari yaitu suatu sistem yang mengatur ihwal batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, biar berperilaku sebagai insan yang mempunyai sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat insan harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan. Kajao juga berpesan kepada seorang pemimpin apabila ingin mengambil keputusan, “Jangan meminta pertimbangan pada perempuan kalau menyangkut keadaan perang negara, lantaran perempuan lebih mengutamakan perasaannya.” Jika istri kepala pemerintahan menjadi lebih banyak didominasi dalam menawarkan pertimbangan kepada suaminya, celakalah keadaan negara
Pada selesai pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584), Kajao Lalliddong menginjak usia 71 tahun. Banyak yang berpendapat, bahwa peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak terlalu nampak lagi, kecuali buah pikirannya tetap menjadi contoh bagi raja dalam melakukan aktivitasnya. Sumber-sumber lisan, contohnya dongeng rakyat di Kabupaten Bone, menyebutkan bahwa di ketika usia uzur, ia menentukan meninggalkan istana raja dan kembali ke tempat kelahirannya di Lalliddong yang pada ketika itu berada di wilayah Wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap ketika raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan. Tentang dukungan gelar “Kajao” yang berdasarkan bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Bissu” (Rohaniawan) di mana pada ketika itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu nampak bagai seorang perempuan.
Terdapat beberapa versi ihwal meninggalnya jago pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya “mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada ketika itu, Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi, namun sesudah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak sanggup ditemukan.
Versi yang lain menyatakan bahwa Kajao Lalliddong menghembuskan nafas terakhirnya dengan damai disaat usia yang bertambah uzur. Tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis ketika itu.
Ada juga dongeng bahwa Kajao Lalliddong telah menikah dan mendiami tempat yang tak begitu ramai di tempat Kerajaan Bone, dengan harta dukungan dari Raja sebagai penghargaan dan usahanya, ia hidup senang bersama istri dan anaknya. Ia diperkirakan mangkat pada tahun 1586.
– Berdikarionline.com
– Makassarnolkm.com
– Ensoklopediabugismakassar.wordpress.com
Sumber : koranmakassaronline.com
0 Comment
Posting Komentar