Rakyat Terkecoh, Ternyata Polisi Republik Indonesia dan KPK Kompak!
arifuddinali.blogspot.com - Sesuai himbauan bapak Presiden Joko Widodo yang menyampaikan “… terutama media untuk memberikan hal-hal yang objektif….,” Sebagai Citizen Journalism saya ingin menulis tanpa perlu banyak sumber informasi yang layak kutip, berusaha seobjektif mungkin untuk melihat informasi di balik informasi terkait gonjang-ganjing antara institusi Polisi Republik Indonesia dan KPK.
Bangsa Indonesia ini memang rentan dengan banyak sekali dilema yang setiap ketika meletus silih berganti, dan para petinggi negeri pun tak kenal lelah untuk mengalihkan perhatian rakyat yang setiap hari dihimpit kebutuhan hidup yang terus meningkat namun tak gampang didapat itu. Mereka pun menyuguhkan DRAMA yang penuh dengan ketegangan yang bisa menciptakan emosi tak terkendali.
Drama besar masa SBY yang sukses kemarin berjudul “Cicak vs Buaya”, bisa menyihir rakyat untuk terlibat menyimak dan menanggapinya. Dan muncullah banyak pengamat politik dengan segala analisanya, dari mulai
kelas Profesor sampai yang gres bangkit dari molor. Hastag cicakbuaya pun menjadi trending topic di dunia maya.
Kesuksesan potongan 1 Cicak vs Buaya rupanya ingin diulang kembali di masa Jokowi, dengan para pemain drama yang berbeda namanya. Pada potongan 1 kedua institusi dengan skor sama, ketua KPK berhasil masuk bui, dan beberapa perwira polisi pun menghuni hotel prodeo.
Drama atau sinetron memang salah satu program yang menarik di layar televisi, dan insiden demi insiden dalam drama bangsa ini sepertinya berinteraksi tinggi di dalam visi para pejabat tinggi, baik sentra maupun daerah. Mereka sepertinya harus memvisualkan pikiran politisnya ke dalam bentuk yang nyata. Tanpa harus memikirkan bentuk yang pas dalam hati rakyat (orang awam pada umumnya).
Suka tidak suka, mau tidak mau, ketua KPK Abraham Samad telah melaksanakan hal yang TIDAK SANTUN demi MENJAGA suasana SEJUK kehidupan bangsa ini. Hingga bermunculan sejuta analisa adanya politisasi ketika pengumuman status tersangka BG, padahal BG tengah diajukan presiden sebagai Cakapolri.
Kenapa Abraham Samad tidak melaksanakan kesantunan sebagai pejabat penting?
Apa tidak lebih sejuk, sebelum mengumumkan status BG ia menghadap presiden untuk membicarakan hal ini? Biarlah presiden yang akan mengambil keputusannya, tentunya sesudah berdiskusi dengan yang lainnya. Mustahil presiden Jokowi tidak mau mendapatkan masukan KPK soal itu.
Sementara Polisi Republik Indonesia melalui tangan Bareskrim pun melaksanakan hal yang sama, TIDAK SANTUN dalam melaksanakan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Sebagai institusi yang setara dalam “mengamankan” bangsa dan negara, kenapa tidak melaksanakan penangkapan DENGAN SANTUN, ke kantor KPK dan menyampaikan secara baik-baik prosedurnya, bukannya sembarangan nangkap dan memperlakukannya dengan tidak hormat layaknya pesakitan saja.
Dengan demikian, Polisi Republik Indonesia dan KPK melaksanakan cara yang sama KURANG KESANTUNAN dalam proses hukumnya.
Mereka tidak mentaati aturan main yang baik, tidak sinergi, justru sering melaksanakan pelanggaran konstitusi demi ego sektoral forum negara. Sistem negara belum berjalan sesuai harapan, mentalitas elitisnya tidak bisa dibutuhkan untuk memulai revolusi mental, negri ini memang tengah mengalami DARURAT MENTAL di segala sektor.
KPK lewat Abraham Samad ketika menuduh orang sebagai TERSANGKA, antara lain :
1. Menteri Agama Suryadharma Ali.
2. Menteri ESDM Jero Wacik.
3. Cakapolri Budi Gunawan.
4. Hadi Purnomo
5. Dan lain sebagainya.
Dimana KETETAPAN HUKUM para tersangka versi KPK itu?
Apakah kasus itu akan terus digantung tanpa kejelasan?
Mengapa KPK terkesan lambat menindaklanjuti mereka yang sudah distempel tersangka, sesudah besar hati menuduh seseorang sebagai tersangka dengan ALAT BUKTI yang katanya cukup bukti?
Sementara POLRI pun belum bisa mengubah raport merahnya menjadi hitam di mata rakyat, terlalu banyak berafiliasi dengan masyarakat memang kolam simalakama, dibutuhkan juga dibenci, itulah polisi. Lalu bagaimana cara intitusi Polisi Republik Indonesia dalam menertibkan REKENING GENDUT yang sudah menjadi belakang layar umum ini?
Kedua intitusi di atas memang belum bisa dibutuhkan tanggung jawabnya yang menciptakan rakyat besar hati kepada mereka. Yang terang Polisi Republik Indonesia dan KPK kurang memahami dengan baik bahwa untuk mengatasi dilema tidak hanya berpegang pada pertimbangan LEGAL JUSTICE (Hukum Formal) saja, melainkan harus juga mempertimbangkan aspek MORAL JUSTICE dan SOSIAL JUSTICE.
Para hamba aturan bergerak dengan visi, gerak, aksi, yang menyebabkan suasana tegang, saling mengumbar kehebatan kekerasan dan kata maki-makian yang kotor dan dangkal. Kepekaan terhadap situasi, lingkungan yang mencekam memang ditunjukkan oleh YANG KUAT untuk MENEKAN YANG LEMAH.
Polisi Republik Indonesia memiliki kekuatan yang hebat, gudang arsenal yang penuh, intelijen yang tersebar di banyak sekali wilayah, maka tak mau mengalah kalau berhadapan dengan KPK sang Cicak itu.
Sementara KPK pun memiliki tenaga hebat yang andal dalam menyadap, mengumpulkan data, dan rakyat selalu membelanya kalau dalam tekanan instansi lain.
Keduanya bertemu kembali dalam potongan 2, Cicak lawan Buaya yang niscaya akan menelan korban lagi, sementara para pengamat semakin “memultisemrawuttafsirkan” kegaduhan politik itu.
KPK dan Polisi Republik Indonesia kesannya saya anggap sanggup B, alasannya sama-sama sanggup B.
- KPK menerima Budi Gunawan
- Polisi Republik Indonesia menerima Bambang Widjojanto
Sama-sama sanggup B, baik atau benar terserah Anda menilainya. Yang terang KPK dan POLRI sama-sama KOMPAK sanggup B!
Sumber: politik.kompasiana.com - 23 Januari 2015
Bangsa Indonesia ini memang rentan dengan banyak sekali dilema yang setiap ketika meletus silih berganti, dan para petinggi negeri pun tak kenal lelah untuk mengalihkan perhatian rakyat yang setiap hari dihimpit kebutuhan hidup yang terus meningkat namun tak gampang didapat itu. Mereka pun menyuguhkan DRAMA yang penuh dengan ketegangan yang bisa menciptakan emosi tak terkendali.
Drama besar masa SBY yang sukses kemarin berjudul “Cicak vs Buaya”, bisa menyihir rakyat untuk terlibat menyimak dan menanggapinya. Dan muncullah banyak pengamat politik dengan segala analisanya, dari mulai
kelas Profesor sampai yang gres bangkit dari molor. Hastag cicakbuaya pun menjadi trending topic di dunia maya.
Kesuksesan potongan 1 Cicak vs Buaya rupanya ingin diulang kembali di masa Jokowi, dengan para pemain drama yang berbeda namanya. Pada potongan 1 kedua institusi dengan skor sama, ketua KPK berhasil masuk bui, dan beberapa perwira polisi pun menghuni hotel prodeo.
Drama atau sinetron memang salah satu program yang menarik di layar televisi, dan insiden demi insiden dalam drama bangsa ini sepertinya berinteraksi tinggi di dalam visi para pejabat tinggi, baik sentra maupun daerah. Mereka sepertinya harus memvisualkan pikiran politisnya ke dalam bentuk yang nyata. Tanpa harus memikirkan bentuk yang pas dalam hati rakyat (orang awam pada umumnya).
Kurang Kesantunan
Dalam potongan Cicak vs Buaya seri 2 ini skenario awal dimulai ketika KPK mengumumkan Komjen BG (Budi Gunawan) sebagai TERSANGKA dan ceritapun akan mengalir semakin seru.Suka tidak suka, mau tidak mau, ketua KPK Abraham Samad telah melaksanakan hal yang TIDAK SANTUN demi MENJAGA suasana SEJUK kehidupan bangsa ini. Hingga bermunculan sejuta analisa adanya politisasi ketika pengumuman status tersangka BG, padahal BG tengah diajukan presiden sebagai Cakapolri.
Kenapa Abraham Samad tidak melaksanakan kesantunan sebagai pejabat penting?
Apa tidak lebih sejuk, sebelum mengumumkan status BG ia menghadap presiden untuk membicarakan hal ini? Biarlah presiden yang akan mengambil keputusannya, tentunya sesudah berdiskusi dengan yang lainnya. Mustahil presiden Jokowi tidak mau mendapatkan masukan KPK soal itu.
Sementara Polisi Republik Indonesia melalui tangan Bareskrim pun melaksanakan hal yang sama, TIDAK SANTUN dalam melaksanakan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Sebagai institusi yang setara dalam “mengamankan” bangsa dan negara, kenapa tidak melaksanakan penangkapan DENGAN SANTUN, ke kantor KPK dan menyampaikan secara baik-baik prosedurnya, bukannya sembarangan nangkap dan memperlakukannya dengan tidak hormat layaknya pesakitan saja.
Dengan demikian, Polisi Republik Indonesia dan KPK melaksanakan cara yang sama KURANG KESANTUNAN dalam proses hukumnya.
Pertimbangan Hukum
Kalau melihat gelagat sikap yang berkembang di antara petinggi bangsa ini, revolusi mental yang dibutuhkan presiden rasa-rasanya masih jauh api dari panggang, kinerja kelembagaan negara dalam mewujudkan KEBENARAN dan KEADILAN sangat rendah, justru unsur politisnya lebih kuat.Mereka tidak mentaati aturan main yang baik, tidak sinergi, justru sering melaksanakan pelanggaran konstitusi demi ego sektoral forum negara. Sistem negara belum berjalan sesuai harapan, mentalitas elitisnya tidak bisa dibutuhkan untuk memulai revolusi mental, negri ini memang tengah mengalami DARURAT MENTAL di segala sektor.
Mana Tanggung Jawabmu?
Keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik, ini yang memang harus DIBASMI secara bertahap, dan KPK ialah cita-cita rakyat untuk melaksanakan itu. Lalu bagaimana tanggung jawabKPK lewat Abraham Samad ketika menuduh orang sebagai TERSANGKA, antara lain :
1. Menteri Agama Suryadharma Ali.
2. Menteri ESDM Jero Wacik.
3. Cakapolri Budi Gunawan.
4. Hadi Purnomo
5. Dan lain sebagainya.
Dimana KETETAPAN HUKUM para tersangka versi KPK itu?
Apakah kasus itu akan terus digantung tanpa kejelasan?
Mengapa KPK terkesan lambat menindaklanjuti mereka yang sudah distempel tersangka, sesudah besar hati menuduh seseorang sebagai tersangka dengan ALAT BUKTI yang katanya cukup bukti?
Sementara POLRI pun belum bisa mengubah raport merahnya menjadi hitam di mata rakyat, terlalu banyak berafiliasi dengan masyarakat memang kolam simalakama, dibutuhkan juga dibenci, itulah polisi. Lalu bagaimana cara intitusi Polisi Republik Indonesia dalam menertibkan REKENING GENDUT yang sudah menjadi belakang layar umum ini?
Kedua intitusi di atas memang belum bisa dibutuhkan tanggung jawabnya yang menciptakan rakyat besar hati kepada mereka. Yang terang Polisi Republik Indonesia dan KPK kurang memahami dengan baik bahwa untuk mengatasi dilema tidak hanya berpegang pada pertimbangan LEGAL JUSTICE (Hukum Formal) saja, melainkan harus juga mempertimbangkan aspek MORAL JUSTICE dan SOSIAL JUSTICE.
Sama-sama Dapat B
Banyak insiden di segala bidang yang menghadapkan antara rakyat dan pejabat, si kaya dan si miskin, tidak sanggup diatasi dengan cara yang sederhana, dengan kata-kata yang sederhana, melainkan dengan BAHASA KEKERASAN sekalipun dalam insiden yang ringan.Para hamba aturan bergerak dengan visi, gerak, aksi, yang menyebabkan suasana tegang, saling mengumbar kehebatan kekerasan dan kata maki-makian yang kotor dan dangkal. Kepekaan terhadap situasi, lingkungan yang mencekam memang ditunjukkan oleh YANG KUAT untuk MENEKAN YANG LEMAH.
Polisi Republik Indonesia memiliki kekuatan yang hebat, gudang arsenal yang penuh, intelijen yang tersebar di banyak sekali wilayah, maka tak mau mengalah kalau berhadapan dengan KPK sang Cicak itu.
Sementara KPK pun memiliki tenaga hebat yang andal dalam menyadap, mengumpulkan data, dan rakyat selalu membelanya kalau dalam tekanan instansi lain.
Keduanya bertemu kembali dalam potongan 2, Cicak lawan Buaya yang niscaya akan menelan korban lagi, sementara para pengamat semakin “memultisemrawuttafsirkan” kegaduhan politik itu.
KPK dan Polisi Republik Indonesia kesannya saya anggap sanggup B, alasannya sama-sama sanggup B.
- KPK menerima Budi Gunawan
- Polisi Republik Indonesia menerima Bambang Widjojanto
Sama-sama sanggup B, baik atau benar terserah Anda menilainya. Yang terang KPK dan POLRI sama-sama KOMPAK sanggup B!
Sumber: politik.kompasiana.com - 23 Januari 2015
0 Comment
Posting Komentar